Minggu, 17 Mei 2009

Pemerintahan Inggris di Indonesia (1811–1816)

Setelah Inggris berhasil menguasai Indonesia kemudian
memerintahkan Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan
Gubernur di Indonesia dan memulai tugasnya pada tanggal 19
Oktober 1811.
Kebijaksanaan Raffles selama memerintah di Indonesia:
a. Di bidang ekonomi
Dalam bidang ekonomi, Raffles menetapkan kebijakan berupa:
1) Menghapus segala kebijakan Daendels, seperti contingenten/
pajak/penyerahan diganti dengan sistem sewa tanah (landrente).
2) Semua tanah dianggap milik negara, maka petani harus
membayar pajak sebagai uang sewa.
Namun upaya Raffles dalam penerapan sistem pajak tanah
mengalami kegagalan karena:
1) Sulit menentukan besar kecilnya pajak bagi pemilik tanah,
karena tidak semua rakyat mempunyai tanah yang sama.
2) Sulit menentukan luas sempitnya dan tingkat kesuburan tanah
petani.
3) Keterbatasan pegawai-pegawai Raffles.
4) Masyarakat desa belum mengenal sistem uang.
b. Di bidang pemerintahan pengadilan dan sosial
Dalam bidang ini, Raffles menetapkan kebijakan berupa:
1) Pulau Jawa dibagi menjadi 16 karesidenan termasuk Jogjakarta
dan Surakarta.
2) Masing-masing karesidenan mempunyai badan pengadilan.
3) Melarang perdagangan budak.
c. Di bidang ilmu pengetahuan
Dalam bidang pengetahuan, Raffles menetapkan kebijakan
berupa:
1) Mengundang ahli pengetahuan dari luar negeri untuk mengadakan
berbagai penelitian ilmiah di Indonesia.
2) Raffles bersama Arnoldi berhasil menemukan bunga bangkai
sebagai bunga raksasa dan terbesar di dunia. Bunga tersebut
diberinya nama ilmiah Rafflesia Arnoldi.
3) Raffles menulis buku “History of Java” dan merintis pembangunan
Kebun Raya Bogor sebagai kebun biologi yang
mengoleksi berbagai jenis tanaman di Indonesia bahkan dari
berbagai penjuru dunia.
Pemerintahan Raffles tidak berlangsung lama sebab Pemerintahan
Napoleon di Prancis pada tahun 1814 jatuh. Akibat
berakhirnya kekuasan Louis Napoleon 1814, maka diadakan Konferensi
London.
Isi Konferensi London antara lain:
1) Belanda memperoleh kembali daerah jajahannya yang dahulu
direbut Inggris.
2) Penyerahan Indonesia oleh Inggris kepada Belanda berlangsung
tahun 1816.
3) Jhon Fendall diberi tugas oleh pemerintah Inggris untuk
menyerahkan kembali Indonesia kepada Belanda.
Belanda menerima penyerahan Inggris melalui Komisi
Jenderal yang terdiri dari 3 orang, yaitu Elaut, Van der Cappelen,
dan Buykes. Sejak saat itu terjadi perubahan kekuasaan di Indonesia
dari tangan Inggris ke tangan Belanda. Belanda menunjuk
Van Der Cappelen sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda.

Sabtu, 02 Mei 2009

Masa Pemerintahan Kolonial Belanda (Johanes Van Den Bosch)

Kekosongan keuangan Belanda yang disebabkan oleh perang
kemerdekaan dari Belgia maupun perang Diponegoro, mendorong
Belanda untuk menciptakan suatu sistem yang dapat menghasilkan
keuntungan dalam bidang ekonomi/keuangan bagi Belanda. Pada
masa kepemimpinan Johanes Van Den Bosch Belanda memperkenalkan
culturstelsel atau caltivitaion system (tanam paksa).
Sistem tanan paksa pertama kali diperkenalkan di Jawa dan
dikembangkan di daerah-daerah lain di luar Jawa.
a. Aturan sistem tanam paksa
1) Setiap penduduk wajib menyerahkan seperlima dari lahan
garapannya untuk ditanami tanaman wajib yang berkualitas
ekspor.
2) Tanah yang disediakan untuk tanah wajib dibebaskan dari
pembayaran pajak tanah.
3) Hasil panen tanaman wajib harus diserahkan kepada
pemerintah kolonial. Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah
pajak yang harus dibayarkan kembali kepada rakyat.
4) Tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menggarap
tanaman wajib tidak boleh melebihi tenaga dan waktu yang
diperlukan untuk menanam padi atau kurang lebih 3 bulan.
5) Mereka yang tidak memiliki tanah, wajib bekerja selama
66 hari atau seperlima tahun di perkebunan pemerintah.

6) Jika terjadi kerusakan atau kegagalan panen menjadi
tanggung jawab pemerintah (jika bukan akibat kesalahan
petani).
7) Pelaksanaan tanam paksa diserahkan sepenuhnya kepada
kepala desa.
b. Pelaksanaan tanam paksa
Dalam kenyataannya, pelaksanaan cultur stelsel banyak
terjadi penyimpangan, karena berorientasi pada kepentingan
imperialis, di antaranya:
1) Jatah tanah untuk tanaman ekspor melebihi seperlima tanah
garapan, apalagi tanahnya subur.
2) Rakyat lebih banyak mencurahkan perhatian, tenaga, dan
waktunya untuk tanaman ekspor, sehingga banyak tidak
sempat mengerjakan sawah dan ladang sendiri.
3) Rakyat tidak memiliki tanah harus bekerja melebihi 1/5
tahun.
4) Waktu pelaksanaan tanaman ternyata melebihi waktu
tanam padi (tiga bulan) sebab tanaman-tanaman perkebunan
memerlukan perawatan yang terus-menerus.
5) Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak yang harus
dibayarkan kembali kepada rakyat ternyata tidak dikembalikan
kepada rakyat.
6) Kegagalan panen tanaman wajib menjadi tanggung jawab
rakyat/petani.
c. Akibat tanam paksa
1) Bagi Belanda
Bagi Belanda tanam paksa membawa keuntungan
melimpah, di antaranya:
a) Kas Belanda menjadi surplus (berlebihan).
b) Belanda bebas dari kesulitan keuangan.
2) Bagi Indonesia
Akibat adanya penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan
tanam paksa, maka membawa akibat yang memberatkan
rakyat Indonesia, yaitu:
a) Banyak tanah yang terbengkalai, sehingga panen gagal.
b) Rakyat makin menderita.
c) Wabah penyakit merajalela.
d) Bahaya kelaparan yang melanda Cirebon memaksa rakyat
mengungsi ke daerah lain untuk menyelamatkan diri.
e) Kelaparan hebat di Grobogan, sehingga banyak yang
mengalami kematian dan menyebabkan jumlah penduduk
menurun tajam.
d. Penentangan tanam paksa
Tanam paksa yang diterapkan Belanda di Indonesia
ternyata mengakibatkan aksi penentangan. Orang yang
menentang tanam paksa terdiri dari:
1) Golongan pendeta
Golongan ini menentang atas dasar kemanusiaan. Adapun
tokoh yang mempelopori penentangan ini adalah Baron Van
Hovel.
2) Golongan liberal
Golongan liberal terdiri dari pengusaha dan pedagang, di
antaranya:
a) Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli yang
menentang tanam paksa dengan mengarang buku berjudul
Max Havelaar.
b) Frans Van de Pute dengan mengarang buku berjudul
Suiker Constracten (Kontrak Kerja).
e. Penghapusan pelaksanaan tanam paksa secara bertahap
Di Sumatra Barat ,sistem tanam paksa dimulai sejak tahun
1847, ketika penduduk yang telah lama menanam kopi secara
bebas dipaksa untuk menanam kopi untuk diserahkan kepada
pemerintah kolonial. Begitu juga di Jawa, pelaksanaan sistem
tanam paksa ini dilakukan melalui jaringan birokrasi lokal.
Berkat adanya kecaman dari berbagai pihak, akhirnya
pemerintah Belanda menghapus tanam paksa secara bertahap:
1) Tahun 1860 tanam paksa lada dihapus.
2) Tahun 1865 tanam paksa nila dan teh dihapus.
3) Tahun 1870 tanam paksa semua jenis tanaman, dihapus
kecuali kopi di Priangan.
Selain di Pulau Jawa, kebijaksanaan yang hampir sama
juga dilaksanakan di tempat lain seperti Sumatra Barat,
Minahasa, Lampung, dan Palembang. Kopi merupakan tanaman
utama di dua tempat pertama. Adapun lada merupakan tanaman
utama di dua wilayah yang kedua. Di Minahasa, kebijakan
yang sama kemudian juga berlaku pada tanaman kelapa.